Langsung ke konten utama

Bawi Mandau

"Sebuah budaya bangsa tinggal di hati dan di dalam jiwa rakyatnya" 

(Mahatma Gandhi 1869-1948)


Di penghujung waktu yang terus menggelinding di dalam jam dinding, berdetak kehidupan yang menggusar sebab berubah tanpa negosiasi dan tak mau tau perihal menunggu siap.

 

Adalah bawi Mandau seorang gadis berkulit putih bersih dengan mata bening berbinar-binar yang hanya mengenal belantara rimba, berjalan pulang ia menuju Betang yang perkasa dan aman.

 

Pada Februari 2001, Waktu itu malam sedang tak damai, dilihatnya langit di timur dan barat memancarkan warna kemerahan tak seperti biasanya, itu pertanda yang hanya belantara dapat melukisnya dan hanya bawi serta kelompoknya yang mengerti.

 

Benar saja, belum lagi hilang kecemasan bawi, dua panglima bertandang dari sebuah tempat antah berantah. Satu berwujud burung satu berwujud kumbang.

 

Bawi seorang gadis yang halus perasaannya, mudah menangis dan iba itu kini harus memenuhi takdir sebagai pewaris leluhur mereka.

 

Tersiar kabar di seantero belantara itu. Perang tengah berkecamuk diantara saudara yang tak mengenal sesamanya. Andai mereka masih ingat saat ikrar meminang Pertiwi yang molek dengan mahar nyawa serta kehormatan di hadapan tuhan dan perjuangan, pun janji hidup rukun dan setia sampai akhir hayat. Takan ada perampasan tanah kebudayaan sebab kebudayaan itu sejatinya milik bersama.

Ah, tapi andai-andai tidak akan merubah kenyataan.

 

Ritual mulai dijalankan, belantara seketika berubah hening mencekam. Bawi hilang kesadaran dan jatuh diatas bumi tuhan yang hijau cemerlang.

Sosok bawi hilang berganti jadi pusaka tajam yang akan menghentikan perang dengan ruah darah. Dua panglima menjelma cahaya melebur pada bawi yang kini telah menjadi Mandau.

 

Upacara adat masih berlangsung khidmat. Sementara bawi Mandau terbang menuju tugu kesaksian sejarah di luar belantara.

 

Tepat pada tanggal 18 Februari 2001 Medan perang berada pada puncaknya. Puluhan jasad bergelimpangan, mencetak kisah baru dalam sejarah manusia. Prajurit-prajurit era modern bahkan tak bergeming saat bawi Mandau melintas, lalu dalam sekejap kepala-kepala manusia seperti kelapa yang berguguran dari pohonnya.

 

Perang berakhir dengan kemenangan fatamorgana. Mandau itu pulang dan bawi dipeluk kembali oleh belantara nya. Saat segala kesadaran telah masuk dalam dirinya. Bawi tidak pernah berhenti menangis sepanjang hayat, tangis yang sama dengan orang-orang yang pergi dan ditinggalkan sebab lupa merasuki hati dan pikiran manusia.


 

Komentar

  1. Pokoknya selalu suka sama tulisanmu. Semangat terus berkarya

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Flamboyan

Kembang merah di ujung kota Menunggu sapa angin utara Atau langkah kuda penarik kereta Pembawa berita dan simfoni cinta Flamboyan Kaulah yang dirindukan Sang pengembara Yang menapaki keringat tanpa huru hara Hingga puncak almamater para ksatria Jika bungamu jatuh berguguran Dalam semerbak wangi sinar pesona Kau ucapkan selamat datang Pada pengembara berpedati tua Yang tak henti berucap bahagia Karena perjalanan panjangnya tidak sia-sia Berakhir dibatas kota... Susilo Bambang Yudhoyono Semarang 24 Januari 2004