Langsung ke konten utama

Bulan Melukis Senja


 

“Jika sinarmu dinantikan oleh semesta, maka bersinarlah dan jangan pernah redup”

(Rembulan)

Ada milyaran manusia di atas bumi tuhan yang mungil ini. Namun, hanya ada satu senja untuk masing-masing mata yang mencintai langitnya.

Jika sukap terlampau bodoh mencuri senja untuk Alina yang teramat sangat dicintainya. Berbeda dengan bulan yang mencintai senja nya dengan cara yang amat bersahaja.

Hari itu untuk pertama kalinya, ku pikir, aku melihat senyum tuhan di langit sebelah barat kala mentari akan terbenam menuju malam. Setiap hari tanpa absen barang sekali pun  aku sempatkan mendaki hanya untuk mengucapkan “Sampai jumpa kembali”.

Kau tau setelah itu?

Ada banyak hal yang membuat cahaya bulan tiba-tiba menjadi redup. Seperti saat mendadak langit diselimuti mega hitam, atau sesaat setelah reda nya hujan yang menyisakan tanah licin di kaki gunung.

Di lain hari aku menatap mu. Dari tempat yang lebih rendah. Tapi engkau tak tampak di mata ku, begitupun sebaliknya. Bukan karena senja tak datang di langit tanpa  awan. Namun yang terlambat bulan sadari  ada ribuan mata yang juga ingin  menikmati senja yang sama, dan aku tak  cukup cepat mengambil posisi paling depan dalam kerumunan.

Tanya hanya sekali, bulan sudah sering kecewa dan pulang dengan senyum tawar, sebab senja kesukaanya seringkali terlewat begitu saja.

Kau tau apa?

Rembulan adalah cahaya malam. Senyumnya tak boleh sering pudar atau tenggelam. Sebab malam akan damai dengan bias cahaya alaminya.

Suatu ketika aku putuskan mendaki puncak tertinggi untuk terakhir kalinya. Ku bawa serta kanvas ingatan dan warna-warni titipan tuhan.

Ku lukis senjaku  sendiri di sana. Untuk kemudian aku bawa pulang. Mulai detik itu hingga pagi menjelang ribuan kali tak ada kalimat “ sampai jumpa” sebab telah aku ucapkan “selamat tinggal”.

Karena mencintai senja bagi ku bukan mencurinya dari langit. Tapi membiarkan ia bersinar untuk ribuan mata yang menanti dan ia nantikan dalam waktu bersamaan.

Komentar

Posting Komentar