Langsung ke konten utama

Kala yang Mencintai Senja



Teruntuk kala yang mencintai senja. Waktu itu sewaktu langit penuh mega hitam dan rintik menjadi butiran tajam jatuh ke bumi. Senja sendirian tak ada suara juga tanpa cahaya. Teruntuk kala waktu itu,

Aku tak tau mana yang harus aku kalahkan terlebih dahulu, amarahku atau ego mu

Aku tak tau mana yang harus aku pertahankan terlebih dahulu, sabar ku atau cinta ku

Ah rasanya terlalu dini untuk bicara perihal cinta. Mencintai diri sendiri saja aku tak tau caranya bagaimana.

Saat ini kepala ku benar-benar pusing. Aku ingin berteriak dan menangis sekeras-kerasnya. Tapi sayang aku hanyalah gadis kecil yang terperangkap dalam tubuh dewasa yang tak ingin isaknya terdengar oleh telinga selain telinga ku sendiri.

Sama saja kamu khawatir aku pun demikian.

Tidak ada bedanya aku terluka, kamu pun tergores pula.

Aku ingin pergi meninggalkan ruangan ini barang sejenak saja. Agar jika ada waktu luang bisa kau baca aku pada setiap dinding yang dingin, pada setiap cermin yang menatap sinis dan tempat tidur sendu ini.

Tapi ku pikir mungkin kau tak ada waktu, sebab sibuk membenahi luka mu sendiri. Tak apa ini bukan sekali, nanti sedihnya hilang sendiri. Mungkin besok pagi aku akan jalan-jalan seperti biasanya, iya seperti tak terjadi apa-apa.

Aku sudah terlatih membisiki kepala ku sendiri agar jadi seorang pelupa. Sungguh saking terbiasanya, aku juga sudah lupa kita ini sebenarnya apa dan siapa?

Disisi lain jam dinding berdetak makin nyaring, merayu ku tidur pada dipan kayu yang makin hari makin rapuh. Aku yang kawatir jatuh dalam mimpi indah urung dan menolak kantuk yang mengetuk pintu rumah ku dengan hening suara jangkrik.

Hari ini kau menutup telinga mu, sama seperti hari-hari yang lalu. Bukan telinga saja, Mata mu juga. Lalu aku meniru, kemudian kau marah. Vas bunga yang baru selesai ku rangkai kembali, kau pecahkan lagi. Cetak biru yang tempo hari kau lukis sudah penuh noda hitam tumpahan tinta.

Kau tanya kenapa aku diam. Lucu sekali, kau tanya usai kau rampas semua ekspresi itu sehingga aku tak punya satu pun lagi untuk ku tunjukan pada dunia. Sampai kekasih ku pun pergi karenanya. Tapi sayang kelucuan itu tak membuat ku tertawa.

Saat hari-hari dingin, kau jahit selimut untuk menghangatkan ku. Ketika kau merasakan panas ku, lihatlah ke dalam mata ku, Di sana iblis yang ku tidurkan bersembunyi. Jangan terlalu dekat, di dalam gelap.

Kau ingat kala, saat bus yang kita tumpangi melaju kencang dan tangisku pecah tanpa aba-aba. bukan amarah yang memenuhi ku, tapi hujan yang bersusah payah ku tampung dari hari-ke hari. Tentang segala hal yang iramanya sumbang untuk di dengarkan. Jika mampu lari, aku akan lari dari semua mata yang keheranan dan perasaan dipecundangi keadaan.

Hanya hati yang hancur yang tersisa, dan aku masih memperbaiki retakannya. Aku pergi ke lautan, aku ingin tenggelam. Salah, bukan untuk membunuh diriku. Tapi untuk membunuh hal-hal buruk yang terjadi diantara kita.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Flamboyan

Kembang merah di ujung kota Menunggu sapa angin utara Atau langkah kuda penarik kereta Pembawa berita dan simfoni cinta Flamboyan Kaulah yang dirindukan Sang pengembara Yang menapaki keringat tanpa huru hara Hingga puncak almamater para ksatria Jika bungamu jatuh berguguran Dalam semerbak wangi sinar pesona Kau ucapkan selamat datang Pada pengembara berpedati tua Yang tak henti berucap bahagia Karena perjalanan panjangnya tidak sia-sia Berakhir dibatas kota... Susilo Bambang Yudhoyono Semarang 24 Januari 2004