Teruntuk kala yang mencintai senja. Waktu
itu sewaktu langit penuh mega hitam dan rintik menjadi butiran tajam jatuh ke
bumi. Senja sendirian tak ada suara juga tanpa cahaya. Teruntuk kala waktu itu,
Aku tak tau mana yang harus aku
kalahkan terlebih dahulu, amarahku atau ego mu
Aku tak tau mana yang harus aku
pertahankan terlebih dahulu, sabar ku atau cinta ku
Ah rasanya terlalu dini untuk bicara
perihal cinta. Mencintai diri sendiri saja aku tak tau caranya bagaimana.
Saat ini kepala ku benar-benar
pusing. Aku ingin berteriak dan menangis sekeras-kerasnya. Tapi sayang aku hanyalah
gadis kecil yang terperangkap dalam tubuh dewasa yang tak ingin isaknya
terdengar oleh telinga selain telinga ku sendiri.
Sama saja kamu khawatir aku pun
demikian.
Tidak ada bedanya aku terluka, kamu
pun tergores pula.
Aku ingin pergi meninggalkan ruangan
ini barang sejenak saja. Agar jika ada waktu luang bisa kau baca aku pada
setiap dinding yang dingin, pada setiap cermin yang menatap sinis dan tempat
tidur sendu ini.
Tapi ku pikir mungkin kau tak ada
waktu, sebab sibuk membenahi luka mu sendiri. Tak apa ini bukan sekali, nanti
sedihnya hilang sendiri. Mungkin besok pagi aku akan jalan-jalan seperti
biasanya, iya seperti tak terjadi apa-apa.
Aku sudah terlatih membisiki kepala
ku sendiri agar jadi seorang pelupa. Sungguh saking terbiasanya, aku juga sudah
lupa kita ini sebenarnya apa dan siapa?
Disisi lain jam dinding berdetak
makin nyaring, merayu ku tidur pada dipan kayu yang makin hari makin rapuh. Aku
yang kawatir jatuh dalam mimpi indah urung dan menolak kantuk yang mengetuk
pintu rumah ku dengan hening suara jangkrik.
Hari ini kau menutup telinga mu, sama
seperti hari-hari yang lalu. Bukan telinga saja, Mata mu juga. Lalu aku meniru,
kemudian kau marah. Vas bunga yang baru selesai ku rangkai kembali, kau
pecahkan lagi. Cetak biru yang tempo hari kau lukis sudah penuh noda hitam
tumpahan tinta.
Kau tanya kenapa aku diam. Lucu
sekali, kau tanya usai kau rampas semua ekspresi itu sehingga aku tak punya
satu pun lagi untuk ku tunjukan pada dunia. Sampai kekasih ku pun pergi
karenanya. Tapi sayang kelucuan itu tak membuat ku tertawa.
Saat hari-hari dingin, kau jahit
selimut untuk menghangatkan ku. Ketika kau merasakan panas ku, lihatlah ke
dalam mata ku, Di sana iblis yang ku tidurkan bersembunyi. Jangan terlalu
dekat, di dalam gelap.
Kau ingat kala, saat bus yang kita
tumpangi melaju kencang dan tangisku pecah tanpa aba-aba. bukan amarah yang
memenuhi ku, tapi hujan yang bersusah payah ku tampung dari hari-ke hari. Tentang
segala hal yang iramanya sumbang untuk di dengarkan. Jika mampu lari, aku akan
lari dari semua mata yang keheranan dan perasaan dipecundangi keadaan.
Hanya hati yang hancur yang tersisa,
dan aku masih memperbaiki retakannya. Aku pergi ke lautan, aku ingin tenggelam.
Salah, bukan untuk membunuh diriku. Tapi untuk membunuh hal-hal buruk yang
terjadi diantara kita.
Komentar
Posting Komentar