Langsung ke konten utama

Buih di Lautan


Hari ini aku pergi melihat lautan biru yang menenangkan. Aku berkaca pada airnya dan mencari-cari diri sendiri, adakah aku disana diantara ribuan buih-buih yang mengapung terombang-ambing oleh ombak yang bahkan tak seberapa.

Siang terik, menuju senja di ujung waktu itu. Aku datang pada orang-orang beragam yang ramah senyum nya. Salah seorang diantara mereka adalah bapak paruh baya dengan badan tak terlalu tinggi. Baju kemeja sederhana berwarna biru seperti laut yang ku kunjungi. Entah magnet apa yang menarik kita saling bertukar sapa. Beliau banyak bercerita, seolah-olah sedang berkeluh kesah padaku. Katanya dia sudah datang 6 jam lebih awal. 

"Luar biasa bapak ini" tanggap ku berusaha menunjukkan apresiasi kecil kala itu.

"Iya, prinsip kita lebih baik menunggu daripada ditunggu oleh orang" ucap beliau dengan ekspresi serius yang sulit aku tafsirkan.

"Aku melihat para penguasa ikut serta" kata nya kemudian dengan suara pelan

"Oh ya?" Dalam hati terkejut, namun yang tampak kemudian hanya senyum penuh perhatian menanti kalimat berikutnya.

"Iya, tadi aku melihat beberapa diantara mereka" jawabnya

Aku diam saja. Mungkin saat itu dibenaknya. Seorang perempuan dengan sampul remaja dihadapannya tak banyak mengerti perihal cacat dunia. Hening, namun aku tau pikiran kita berada di arah yang sama.

Tanpa sadar aku tersenyum. Lalu pamit sebentar untuk menyapa teman lama. Bapak itu pun nampaknya tak punya minat berbagi cerita dengan rekan lain sebab setelah aku beranjak diapun hilang entah kemana. Aku tak heran, aku mengerti setiap langkah yang berjalan menuju altar timbangan memiliki tujuan, entah untuk pribadi atau kelompok. Entah melalui jalan umum atau "jalan pintas"

Waktu-waktu berlarian pergi seperti Kawanan penyu yang bermigrasi, bedanya waktu tidak pernah kembali. Itulah kenapa, hidup harus diupayakan sebaik mungkin. 

Aku menyelami permukaan lautan dalam. Hanyut dalam ketenangan yang kotor, dan "dimaklumi". Andai saja aku tak terlalu pencaya pada dekrit-dekrit bajakan itu. Dengan sepenuh hati akan ku telan lautan pertanyaan yang jawabannya sudah membanjiri rumah-rumah keadilan dengan uang.

Setelah detik-detik pencapaian menyapa, kita bertemu lagi. Ya aku dan bapak kemeja biru. Ku perhatikan wajahnya lesu, aku tau dia telah menemukan namanya dalam daftar yang berbeda dengan mereka yang tadi mungkin selalu dia tatap dengan pandangan iri. Aku tak ingin menambah penderitaan dipikiran malang itu. Aku bergegas menuju pintu keluar untuk pulang. Namun sepertinya takdir berkata lain.

"Hey, ada nama kamu dalam daftar itu?" Tanya nya seketika

"Belum tau pak, saya liat pengumuman dirumah saja" ucapku

"Namanya siapa?" Tanyanya

"Zania"

Usai mengucapkan itu kami kompak berbalik arah, aku keluar dan dia mengecek list daftar nama. Sialnya, bus yang kutunggu terlambat datang. Sebuah motor singgah menghampiri. 

"Nilai kamu tinggi, sepertinya kamu lolos" ucap bapak yang aku lupa tanya siapa namanya itu sambil menurunkan standar motornya

"Oh ya? Bapak lolos juga kan?" Tanya ku kemudian

"Gak, nilai saya jatuh" (si bapak)

"Gapapa pak, masih ada kesempatan di divisi lain" (aku)

"Iya sudah pasti saya akan ikut di divisi lain. Saya gak mungkin melawan mereka" ucapnya dengan senyum yang terluka

"Iya" jawab ku dingin

Mau bagaimana lagi, kegagalannya sebagian kecil memang salahnya sendiri. Tapi andai saja aku tau lebih awal, aku mungkin akan belajar sungguh-sungguh. Aku yakin Tuhan mengijinkanku untuk melempar buku pada wajah orang-orang yang tak pernah membaca itu.

Pada akhirnya aku kembali ke permukaan menuju daratan. Usai pengap menyelam dalam lautan dalam. 

Hari ini ada banyak hal yang aku temukan. Bahwa, keburukan yang merajalela itu bukan karena sudah tidak adanya kebaikan. Melainkan keburukan itu seperti wabah, dia menjangkiti pikiran-pikiran yang lemah. Sedang kebaikan-kebaikan yang takut hanya diam menanti kematiannya.

Komentar

  1. Izin singgah dimari ya, Kak. Tebak siapa wkwk.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukan ahli nuju haha. Tapi makasih udah mampir

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Samboja Di Tanah Lapang

Untuk samboja di tanah merah yang lapang.  Pada senja itu aku pulang. Aku melihat kesederhanaan menemukan rumah-rumahnya yang nyaman dan kalimat-kalimat menjadi indah dalam puisi. Pada senja itu ku lihat bunga-bunga layu untuk mekar kembali esok pagi. Katanya bahagia tak akan punya tempat di dunia bila kesedihan tidak tercipta.  Pada senja itu ku lihat kau yang samar-samar melangkah pergi, memilih asing sebagai tempat sembunyi. Aku hanya bisa membersihkan ruang tamu rumah kita, menata vas bunga, membersihkan debu-debu dari potret  k ebahagiaan yang diabadikan beberapa bulan lalu.  Ku nyalakan pendingin ruangan dalam temperatur sedang agar nanti saat kau pulang tetap merasa nyaman.  Meski bulan seringkali mencuri kisah ku dari balik awan malam. Meski air mata yang kita pendam sudah membanjiri rumah ini berkali-kali, menenggelamkan kalimat-kalimat di kepala kita, meski berkali-kali ruangan ini sunyi, mengeraskan denting jam dinding. Aku tak mengerti kata lari. Aku...

Untitled

Pernah gak sih kamu berada pada satu keadaan yang diluar kotak sama seseorang, maksudnya out of the box gitu loh. Keadaan nya aneh, misalnya kaya, kalian gak ngomong tapi saling bicara, gak ketemu tapi saling ketemu gitu. Gimana ya jelasinnya. Diluar angkasa banget kan?  Kalo dipikir-pikir ternyata kata-kata itu terlalu miskin untuk mendeskripsikan suatu keadaan. Tapi sebenarnya yang complicated itu bukan keadaan nya sih, lebih ke perasaan yang hadir dalam keadaan itu. Contohnya kaya, kamu bisa  mendeskripsikan perasaan senang, sedih, marah, tapi ada perasaan-perasaan lain yang gak ada namanya. Percaya gak? Mungkin agak sulit dimengerti ya. Contoh sederhananya itu kayak misal ada dua orang beda agama pacaran. Logikanya kan mending gak usah pacaran, atau kalo udah terlanjur putus aja. But pada praktek lapangannya ada perasaan yang ga punya nama tadi nimbrung dalam keadaan mereka sehingga ter konversi lah keadaan simple tadi jadi keadaan "rumit". Paham kan?  Tapi apa iya ad...

Selembar senyum beku

Kalo diingat-ingat lagi kita banyak singgah di tempat-tempat spesial. Terimakasih untuk orang-orang yang sudah membawa ku kesana.  Tapi sayang nya kalau dirasa-rasa kembali, kita sekarang tak bisa lebih spesial dari tempat itu. Setiap manusia punya perjalanan dan ceritanya sendiri oleh karena itu dalam sebuah sejarah ada beragam sudut pandang.  Tidak ada yang bisa memaksa kita untuk mempertahankan segala sesuatu yang fana,  dia bisa rusak kapan saja dengan sebab-sebab yang bisa saja terdengar konyol. Kita memang harus membiasakan diri. Terbiasa untuk hilang dalam kehilangan, terbiasa untuk biasa saja pada hal-hal yang melukai pikiran dan perasaan kita. Dan hal lain yang tak kalah penting, kita harus belajar mencintai alur cerita kita masing-masing.  Pada setiap pertemuan, pada setiap kebahagiaan, juga pada seluruh kesedihan di atas bumi ini memiliki ujiannya sendiri.  Tidak ada yang terlalu terluka dari yang lainnya, atau terlalu bahagia melebihi manusia lain....