Siang terik, menuju senja di ujung waktu itu. Aku datang pada orang-orang beragam yang ramah senyum nya. Salah seorang diantara mereka adalah bapak paruh baya dengan badan tak terlalu tinggi. Baju kemeja sederhana berwarna biru seperti laut yang ku kunjungi. Entah magnet apa yang menarik kita saling bertukar sapa. Beliau banyak bercerita, seolah-olah sedang berkeluh kesah padaku. Katanya dia sudah datang 6 jam lebih awal.
"Luar biasa bapak ini" tanggap ku berusaha menunjukkan apresiasi kecil kala itu.
"Iya, prinsip kita lebih baik menunggu daripada ditunggu oleh orang" ucap beliau dengan ekspresi serius yang sulit aku tafsirkan.
"Aku melihat para penguasa ikut serta" kata nya kemudian dengan suara pelan
"Oh ya?" Dalam hati terkejut, namun yang tampak kemudian hanya senyum penuh perhatian menanti kalimat berikutnya.
"Iya, tadi aku melihat beberapa diantara mereka" jawabnya
Aku diam saja. Mungkin saat itu dibenaknya. Seorang perempuan dengan sampul remaja dihadapannya tak banyak mengerti perihal cacat dunia. Hening, namun aku tau pikiran kita berada di arah yang sama.
Tanpa sadar aku tersenyum. Lalu pamit sebentar untuk menyapa teman lama. Bapak itu pun nampaknya tak punya minat berbagi cerita dengan rekan lain sebab setelah aku beranjak diapun hilang entah kemana. Aku tak heran, aku mengerti setiap langkah yang berjalan menuju altar timbangan memiliki tujuan, entah untuk pribadi atau kelompok. Entah melalui jalan umum atau "jalan pintas"
Waktu-waktu berlarian pergi seperti Kawanan penyu yang bermigrasi, bedanya waktu tidak pernah kembali. Itulah kenapa, hidup harus diupayakan sebaik mungkin.
Aku menyelami permukaan lautan dalam. Hanyut dalam ketenangan yang kotor, dan "dimaklumi". Andai saja aku tak terlalu pencaya pada dekrit-dekrit bajakan itu. Dengan sepenuh hati akan ku telan lautan pertanyaan yang jawabannya sudah membanjiri rumah-rumah keadilan dengan uang.
Setelah detik-detik pencapaian menyapa, kita bertemu lagi. Ya aku dan bapak kemeja biru. Ku perhatikan wajahnya lesu, aku tau dia telah menemukan namanya dalam daftar yang berbeda dengan mereka yang tadi mungkin selalu dia tatap dengan pandangan iri. Aku tak ingin menambah penderitaan dipikiran malang itu. Aku bergegas menuju pintu keluar untuk pulang. Namun sepertinya takdir berkata lain.
"Hey, ada nama kamu dalam daftar itu?" Tanya nya seketika
"Belum tau pak, saya liat pengumuman dirumah saja" ucapku
"Namanya siapa?" Tanyanya
"Zania"
Usai mengucapkan itu kami kompak berbalik arah, aku keluar dan dia mengecek list daftar nama. Sialnya, bus yang kutunggu terlambat datang. Sebuah motor singgah menghampiri.
"Nilai kamu tinggi, sepertinya kamu lolos" ucap bapak yang aku lupa tanya siapa namanya itu sambil menurunkan standar motornya
"Oh ya? Bapak lolos juga kan?" Tanya ku kemudian
"Gak, nilai saya jatuh" (si bapak)
"Gapapa pak, masih ada kesempatan di divisi lain" (aku)
"Iya sudah pasti saya akan ikut di divisi lain. Saya gak mungkin melawan mereka" ucapnya dengan senyum yang terluka
"Iya" jawab ku dingin
Mau bagaimana lagi, kegagalannya sebagian kecil memang salahnya sendiri. Tapi andai saja aku tau lebih awal, aku mungkin akan belajar sungguh-sungguh. Aku yakin Tuhan mengijinkanku untuk melempar buku pada wajah orang-orang yang tak pernah membaca itu.
Pada akhirnya aku kembali ke permukaan menuju daratan. Usai pengap menyelam dalam lautan dalam.
Hari ini ada banyak hal yang aku temukan. Bahwa, keburukan yang merajalela itu bukan karena sudah tidak adanya kebaikan. Melainkan keburukan itu seperti wabah, dia menjangkiti pikiran-pikiran yang lemah. Sedang kebaikan-kebaikan yang takut hanya diam menanti kematiannya.
Izin singgah dimari ya, Kak. Tebak siapa wkwk.
BalasHapusBukan ahli nuju haha. Tapi makasih udah mampir
Hapus