Langsung ke konten utama

Samboja Di Tanah Lapang

Untuk samboja di tanah merah yang lapang. 

Pada senja itu aku pulang. Aku melihat kesederhanaan menemukan rumah-rumahnya yang nyaman dan kalimat-kalimat menjadi indah dalam puisi. Pada senja itu ku lihat bunga-bunga layu untuk mekar kembali esok pagi. Katanya bahagia tak akan punya tempat di dunia bila kesedihan tidak tercipta. 

Pada senja itu ku lihat kau yang samar-samar melangkah pergi, memilih asing sebagai tempat sembunyi. Aku hanya bisa membersihkan ruang tamu rumah kita, menata vas bunga,membersihkan debu-debu dari potret kebahagiaan yang diabadikan beberapa bulan lalu. Ku nyalakan pendingin ruangan dalam temperatur sedang agar nanti saat kau pulang tetap merasa nyaman. 

Meski bulan seringkali mencuri kisah ku dari balik awan malam. Meski air mata yang kita pendam sudah membanjiri rumah ini berkali-kali, menenggelamkan kalimat-kalimat di kepala kita, meski berkali-kali ruangan ini sunyi, mengeraskan denting jam dinding. Aku tak mengerti kata lari. Aku hanya, tak suka kompleksitas dan kau sederhana. Aku hanya, tak suka bising dan kau membawa hening. Seperti puzzle yang sering kau bawa pulang untuk jadi pengisi waktu luang kita saat akhir pekan. Satu dengan yang lain memiliki bentuk berbeda tapi saling melengkapi. 

Pada senja itu kau tampaknya takkan kembali, pada aku yang menunggu, pada semboja yang kian layu. dan rayap-rayap yang berpesta di rumah kita. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Flamboyan

Kembang merah di ujung kota Menunggu sapa angin utara Atau langkah kuda penarik kereta Pembawa berita dan simfoni cinta Flamboyan Kaulah yang dirindukan Sang pengembara Yang menapaki keringat tanpa huru hara Hingga puncak almamater para ksatria Jika bungamu jatuh berguguran Dalam semerbak wangi sinar pesona Kau ucapkan selamat datang Pada pengembara berpedati tua Yang tak henti berucap bahagia Karena perjalanan panjangnya tidak sia-sia Berakhir dibatas kota... Susilo Bambang Yudhoyono Semarang 24 Januari 2004