Langsung ke konten utama

PERS MAHASISWA DIPERKOSA AKTIVIS DAN POLITIKUS KAMPUS



“Aku ingin menceritakan sebuah dongeng”

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali pintu kamar kosku digedor oleh seseorang. Keras sekali, hingga aku terbangun dengan jantung berdebar tak karuan. Padahal  tadi malam, aku bergadang dan baru tidur menjelang subuh. Setelah semua agenda diskusi dengan para calon wakil mahasiswa aku pulang, sesampai di kamar aku tak langsung tidur sebab beberapa berita belum rampung penulisannya. Tak bisa menunggu besok, berita lebih cepat basi ketimbang makanan.

Kepala ku terasa sakit karena bangun dalam keadaan terkejut. Beberapa detik setelah berhasil mengontrol perasaanku sendiri  aku bergegas, ternyata Lina sahabat karibku sudah berdiri dengan tangan terlipat saat pintu kamar kubuka. Tanpa menunggu perintah ia menerobos masuk dengan tampang tidak seperti biasanya. Untuk beberapa saat, aku hanya terpaku di tempatku berdiri.

“Kampus sedang heboh”. Ungkap Lina tanpa basa basi.

“Kamu gak usah ikut-ikutan ya”. Sambungnya.

“Hei, dengar tidak?”. Lina gemas sendiri melihat respon kebingunganku .
“Perihal apa Lin?”.

“Opini yang dipublikasikan oleh lembaga Pers kamu itu”.

“Memang apa yang salah?”.

“Intinya ada pihak yang tidak suka, kalian dianggap tidak lagi independen dan terlalu memihak pada satu sudut”.

“Menyudutkan?”. Tanya ku heran dalam hati.

“Memang ada nama tertentu yang kami sebutkan di sana?”. Dengan kening sedikit mengerenyit aku bertanya keheranan.

Kututup pintu.

“Intinya, kamu jangan ikut-ikutan Put”.

Aku tersenyum kecut mendengar permintaan sahabatku itu. Aku mengerti dia mungkin begitu khawatir terhadap keamanaan ku, namun di lain sisi ada beberapa hal yang kurasa tidak akan ia pahami jika berada di posisi ku saat ini. Beberapa memori berputar secara acak dalam ingatanku.

Baru beberapa waktu lalu sebelum aku pergi keluar daerah untuk menghadiri sebuah acara pers nasional, sudah banyak stigma miring perihal pemberitaan yang monoton dan dianggap tidak kritis mengingat lembaga pers dihuni oleh para jurnalis bukan wartawan.

Waktu itu aku cukup berang menghadapi komentar yang menurutku tidak tau adab dan etika itu.

“Karena memang kampus sedang baik-baik saja kan?”. Ungkap ku saat diskusi.

Kak Fadil salah seorang kakak tingkat yang waktu itu ikut diskusi, tersenyum melihat tingkahku yang begitu emosian dan ikut berkomentar.

“Kamu harus terbiasa dengan ini, dan kita harus selalu menghargai kritik dan saran dari para pembaca”. Katanya.

Aku yang semula berapi-api jadi malu sendiri, ditatap dengan pandangan sabar seperti itu.

“Kurang menghargai apa?”. Gumam ku.

“Kita selalu mengucapkan terimakasih. Tapi selalu saja dibalas dengan nada mengejek dan merendahkan. Dan untuk level memaksa mohon maaf kita bukan humas”.

“Masalah dapur keredaksian itukan hak lembaga persnya mau seperti apa manajemen di dalamnya”.
Kak Fadil menyodorkan Handphone ku.

“Buat apa?”.  Tanya ku bingung.

“Kamu balas komentar mereka, daripada ngomel dihapanku, emang pelakunya aku?”.

Semua yang hadir dalam diskusi tertawa, termasuk aku sendiri.

###
Sekarang malah lain cerita, kampus dihebohkan oleh opini yang mengajak seluruh lapisan kampus untuk lebih kritis dan peka terhadap keadaan didalamnya. Mendadak seantero kampus geger, komentar miring kembali dilayangkan dilaman media sosial bahkan website, banyak juga status-status whatsapp bernada marah dilayangkan. Kali ini bahkan lebih tajam dari sebelumnya.

“Persma sudah tidak independen”.

“Persma tidak lagi berintegritas”.

“Para jurnalis tidak punya kode etik”.

Dan segudang bla bla bla yang lainnya.

Waktu itu aku mulai sadar, bahwa apa yang diungkapkan oleh Albert Einstein itu benar adanya
“Jangan terlalu ambil hati dengan ucapan seseorang. Kadang manusia punya mulut tapi belum tentu punya otak”.

###
Pernah satu waktu, aku berniat pulang dan melintasi masjid kampus, saat itu orang tengah sholat isya. Tiba-tiba beberapa orang mengendari motor menghampiri, aku kenal sebagian orang dari mereka. Ternyata maksud mereka hanya berusaha mengintimidasi dengan pertanyaan perihal independen pers mahasiswa. Kalah jumlah, tetapi aku tidak takut. Ini pengalaman pertama yang tidak pernah terbayang sebelumnya. Kupikir masuk lembaga pers, memilih divisi kemudian mencari berita sudah cukup sampai disitu. Ternyata ini bisa menjadi ekstrem layaknya menjadi wartawan sungguhan.

“Tidak pernah ya melihat lembaga independen memihak? Asal kalian tau saja, independennya pers selalu memihak pada yang adil dan benar”.

Usai mengucapkan itu aku sampai tak sadar menggebrak tembok masjid dan mengacungkan jari telunjuk dihadapan aktivitis yang masih seniorku sendiri.

###
Wajar saja aku berang, hanya karena sebuah opini yang diterbitkan mediaku, semua jurnalis didalam kelembagaan dicap tidak tau kode etik.

Tujuh hari tujuh malam aku mengikuti acara pers nasional diluar pulau. Sedikit tidur, mengorbankan waktu, tenaga dan biaya hanya untuk membahas peraturan mengenai bagaimana harusnya seorang jurnalis bertindak, membahas pedoman dan aturan menjadi seorang jurnalis yang bertanggung jawab.
Lalu dengan seenaknya stigma negatif dilayangkan pada para jurnalis.

###
“Pemberitaan sampah, bukannya memberitakan masalah yang sekarang dihadapi negara, malah ikut ajang politik”. Bunyi sebuah pesan yang masuk dikontak whatsapp ku.

Membaca pesan yang kurang akhlak seperti itu aku terpancing untuk langsung mengirim pesan balasan agar lain kali manusia seperti dia lebih waras sedikit saja dalam berkomentar.

“Memangnya kenapa kalau jurnalis mengurusi kampus? Ingat ya, kami ini jurnalis bukan wartawan. Kami memang harus ikut menuntut keadilaan jika negara berlaku curang. Terlepas dari semua itu, fokus kami ya permasalahan di kampus. Sebab kami pers mahasiswa bukan wartawan pemerintahan”.

Usai centang dua abu-abu di layar handphoneku nomor itu langsung aku blokir dari kontak.

###
“Hey Pu”. Lina menepuk pundakku, seketika itu juga lamunanku buyar.

“Denger gak sih?”.

“Iya Lin”. Aku tersenyum.

“Jangan senyum-senyum aja, aku takut kamu nanti terbawa masalah”.

“Enggak kok insya Allah, aku cuman kasihan aja. Baru juga kemaren sore rekan persku bilang kalau untuk tulisan itu dia rela bergadang dan banyak membaca dari media lain yang lebih terkenal, agar segala sesuatunya sesuai dengan pedoman penulisan sebuah media”.

“Yaudah sih, sekarang keadaan lagi panas, akutuh khawatir kalo kamu kenapa-kenapa. Soalnya diluar kamu ya terkenalnya sebagai anak pers bukan anak seni atau sastra”.

“Ya, gimana ya? kerjaan kayagitu gaada gajihnya Lin, cuman dapet capek sama ikhlas doang syukur-syukur kalau dapat pahala”.

“Belum lagi, waktu tulisan direvisi sama redaktur pelaksana, terus direvisi sama pimpinan redaksi, terus dipantaskan tampilannya sama redaktur online. Proses sebuah tulisan kayagitu biar bisa terbit panjang Lin”.

Kali ini Lina lebih memilih diam mendengarkanku.

“Susah Lin jadi jurnalis, memberitakan event dibilang tidak kritis, memberitakan masalah dibilang tidak independen”. Ungkapku sambil menghela napas panjang.





Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selembar senyum beku

Kalo diingat-ingat lagi kita banyak singgah di tempat-tempat spesial. Terimakasih untuk orang-orang yang sudah membawa ku kesana.  Tapi sayang nya kalau dirasa-rasa kembali, kita sekarang tak bisa lebih spesial dari tempat itu. Setiap manusia punya perjalanan dan ceritanya sendiri oleh karena itu dalam sebuah sejarah ada beragam sudut pandang.  Tidak ada yang bisa memaksa kita untuk mempertahankan segala sesuatu yang fana,  dia bisa rusak kapan saja dengan sebab-sebab yang bisa saja terdengar konyol. Kita memang harus membiasakan diri. Terbiasa untuk hilang dalam kehilangan, terbiasa untuk biasa saja pada hal-hal yang melukai pikiran dan perasaan kita. Dan hal lain yang tak kalah penting, kita harus belajar mencintai alur cerita kita masing-masing.  Pada setiap pertemuan, pada setiap kebahagiaan, juga pada seluruh kesedihan di atas bumi ini memiliki ujiannya sendiri.  Tidak ada yang terlalu terluka dari yang lainnya, atau terlalu bahagia melebihi manusia lain....

Malam Tak Beranjak

  Pada andrea yang menyimpan banyak kisah Pagi lengang tak semrawut pikiran ku tentang basa basi masa depan semalam. Kadangkala memang beberapa pilihan sudah punya pemenang.Pertimbangan-pertimbangan hanya mengundang keraguan yang baru saja. Di dunia ini kita mengerti, bahwa tak ada satupun orang yang rela kehilangan. Menurut mu kenapa tajuk-tajuk puisi tak pernah membosankan meski sebenarnya alur ceritanya hampir sama semua. Kalau tidak jatuh cinta ya patah hati. Sebab, pemerannya yang berbeda.  Andrea kekasih ku, ada banyak puisi cinta di dunia ini. Romansa seperti apa yang ingin kau suguhkan di meja makan malam kita? Sedang ambisi-ambisi bisa hilang, bahkan gejolak dengan mudahnya padam. Tidak ada yang abadi selain-Dia. Lalu menurut mu apalagi yang paling dicari manusia selain keabadian?  Sayang, saat perpisahan terjadi, dua hati yang saling meninggalkan sama-sama terluka. Seperti batu jatuh kelaut. Hanya saja salah satu dari keduanya tenggelam lebih dalam.  Sebaga...