Langsung ke konten utama

Bukan Jalan Terakhir

Malam itu suasana paling nyaman mendekap erat ruang tamu keluarga kami. Di depan televisi ada bapak dengan kopi hangat nya, sedang aku, ibu, dan adik dengan gelas teh hangat kami masing-masing dan sepiring besar singkong goreng untuk dinikmati bersama.

Sempat gaduh beberapa kali, perihal selera acara yang tidak sama diantara kami berempat, hingga akhirnya satu pemberitaan mengenai virus yang sedang trending dari daerah wuhan di China menyatukan minat penasaran kami.

"Itulah, bukti bahwa Islam itu memang hebat"  bapak berkomentar lebih dulu

"Allah itu maha sayang, bahkan sampai makanan pun kita diatur apa yang haram tidak boleh dimakan dan mana yang halal, ya demi kebaikan kita juga" sambung bapak.

Cici adik cantik ku yang sudah kelas 2 SMA itupun ikut berkomentar

"Tenang aja pak, virus gituan ga bakal berani masuk negara kita. Minum air mentah aja ga sakit perut kayak orang luar negeri, makanan jatoh ke lantai aja dibilang belum 5 menit, terus dimakan lagi"

Seisi ruang tamu pun tertawa atas komentar cici barusan. Aku yang sempat membaca beberapa meme senada ucapan Cici di media sosial pun tertawa lebih galak dari yang lain.

Pagi hari nya aku harus kembali lagi ke kota perantauan, libur kuliah sudah usai. Dengan berat hati meninggalkan rumah yang menjadi tempat paling nyaman

"Mas Ilham kuliah yang bener ya, biar nanti Cici kalo masuk universitas yang sama bisa bangga-banggain deh punya kakak kaya mas Ilham" celoteh Cici saat mencium punggung tangan ku, sewaktu aku berpamitan.

"Enak aja, kalo mau membanggakan sesuatu hasil usaha sendiri dong" Ucapku sambil mengacak rambutnya.

Sebulan setelah aku pulang sebuah notifikasi masuk di layar handphone milikku mengenai pemberitaan virus dari China yang sudah masuk Indonesia.

Sempat terbesit dipikiran, ini akibat tuhan marah karena kesombongan orang-orang belakangan ini sebelum virus tersebut sampai di negeri kami. Kebiasaan bapak yang selalu menghubungkan sesuatu dengan agama nyangkut sedikit banyak ke dalam pola pikir ku.

Buru-buru ku tepis hal tersebut. Tidak ada perasaan khawatir sama sekali waktu itu, sampai pada hari ke 10 dari berita yang kubaca korban terus bertambah meskipun ada yang sembuh, tak hanya itu para tim medis pun ada yang tumbang.

Perasaanku semakin tidak karuan saat tau kampung halaman ku masuk dalam zona merah penyebaran virus tersebut.

Terakhir kali ku telpon, Cici bilang orang rumah semuanya dalam keadaan sehat. Aku lega sekali, meski tak dapat pulang untuk melihat keadaan mereka secara langsung sebab tidak ada tiket pesawat dikarenakan lockdown.

Dari artikel yang ku baca yang paling beresiko tinggi saat terpapar virus adalah para lansia dan anak-anak, sebab mereka memiliki sistem imun yang lemah.

Aku bukan dokter atau ahli dalam pengetahuan tentang virus ini. Aku hanya bisa membaca dan mencari tahu melalui artikel-artikel di internet.
Akhir-akhir ini aku yang biasanya tak terlalu cerewet jadi lebih sering menelpon Cici hanya untuk sekedar bertanya kabar.

Siang ini Barend teman ku yang ikut program pertukaran mahasiswa S3 dari dari Belanda mengajak minum kopi sambil diskusi.

"Menurut ku ham, total lockdown bukan strategi tepat buat negeri ini, kalau dilihat dari budaya masyarakat nya. kecuali cuman slow down sosial distancing atau jaga jarak bubarin keramaian"

"Mau ga mau semua orang bakal tertular ham" sambungnya.

"Kok gitu? Enggak lah, kita berfikir positif aja" ujar ku menimpali.

"Aku bukannya menakut-nakutin Ham, Ramai kan di berita? Udah jelas jadi suspect malah ngumpul dikeramaian bantu-bantu nikahan tetangganya. Ditelpon sama dinas kesehatan untuk ngontrol ngakunya dirumah padahal jalan-jalan"

"Itu baru ngisolasi 1 orang Ham, baru 1" ungkap Barend menggebu.

"Kalau ini terus berlanjut jalan terakhirnya adalah, memisahkan orang-orang lansia dan kaum muda lalu membiarkan semua orang tertular dan memberikan jatah 60% yang tertular adalah anak-anak muda karena sistem imun mereka lebih kuat. Dengan begitu kemungkinan bertahan hidup dan membentuk herd immunity akan lebih besar"  jelasnya.

Aku sempat termenung mendengar penjelasan logis Barend tersebut sebelum akhirnya telpon berdering dari dalam tas ku. Ternyata dari dinas kesehatan daerah yang mengabarkan keluarga ku terpapar virus qif 19. Aku sampai tak mampu berkata apapun

"What's wrong broth?" Tanya Barend melihat ekspresi kalut ku.

Setelah sedikit tenang aku menjelaskan kepadanya apa yang terjadi, meski dengan terisak. Rasa malu sebagai lelaki karena menangis di hadapan Barend bahkan tidak terpikirkan lagi.

Selama 2 Minggu lebih aku tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya menanti kabar dari gawai tentang keadaan keluarga ku.
Hingga akhirnya, yang aku takutkan itu datang. Kabar bahwa ayah telah dipanggil oleh tuhan kemudian disusul oleh ibu. Aku benar-benar terpuruk bahkan sampai detik terakhir mereka dimakamkan aku tak bisa melihatnya. Namun, aku harus tetap bersyukur sebab keadaan Cici sudah semakin membaik namun ia masih harus dirawat.

Ku dengar dari cerita Cici bahwa ayah memang keras kepala. Tetap pergi keluar dan melaksanakan kegiatan seperti biasanya bahkan beberapa pekerjaan dibawa ke kantor atau cafe. Katanya kalau dirumah takut ga selesai. Beberapa kali diperingatkan ayah selalu berkilah

"Namanya umur ga ada yang tau, biar dirumah sekalipun ga kena virus sekalipun kita semua bakal tetap meninggal" kata Cici menirukan ucapan ayah

Aku tersenyum kecut menyesali pemikiran ayah, sedang adik ku sendiri terpapar sebab juga menganggap enteng virus yang sekarang sudah menjadi pandemi. Sedang ibu adalah korban kecerobahn mereka berdua

"Mas, maafin Cici ya" Cici terisak di seberang telpon ku

Aku menyeka air mata yang sedari tadi mengalir tak tertahan.

"Udah gapapa, semua udah berlalu ci. Kamu yang kuat cepet sehat biar kita bisa kumpul lagi"

"Iya mas. Udah jam istirahat, perawat bakal ngecek kondisi aku. udahan dulu ya mas"

"Iya sayang, cepet sehat" ucapku tulus sekali lagi.

Hari itu adalah hari paling berat yang harus aku dan Cici lewati. Aku terpikir kembali penjelasan Barend malam itu.

"Tidak, itu bukan jalan terakhir aku harap bukan" batin ku

Aku tidak sanggup membayangkan kemungkinan terburuknya yaitu gagal, akan banyak korban. Akan banyak orang kehilangan. Aku harap semua orang tetap mematuhi setiap prosedur yang ada dan tidak menggap remeh hal ini. Aku tidak ingin membiarkan semua orang terjangkit virus adalah jalan terakhir mengakhiri pandemi ini.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Samboja Di Tanah Lapang

Untuk samboja di tanah merah yang lapang.  Pada senja itu aku pulang. Aku melihat kesederhanaan menemukan rumah-rumahnya yang nyaman dan kalimat-kalimat menjadi indah dalam puisi. Pada senja itu ku lihat bunga-bunga layu untuk mekar kembali esok pagi. Katanya bahagia tak akan punya tempat di dunia bila kesedihan tidak tercipta.  Pada senja itu ku lihat kau yang samar-samar melangkah pergi, memilih asing sebagai tempat sembunyi. Aku hanya bisa membersihkan ruang tamu rumah kita, menata vas bunga, membersihkan debu-debu dari potret  k ebahagiaan yang diabadikan beberapa bulan lalu.  Ku nyalakan pendingin ruangan dalam temperatur sedang agar nanti saat kau pulang tetap merasa nyaman.  Meski bulan seringkali mencuri kisah ku dari balik awan malam. Meski air mata yang kita pendam sudah membanjiri rumah ini berkali-kali, menenggelamkan kalimat-kalimat di kepala kita, meski berkali-kali ruangan ini sunyi, mengeraskan denting jam dinding. Aku tak mengerti kata lari. Aku...

Untitled

Pernah gak sih kamu berada pada satu keadaan yang diluar kotak sama seseorang, maksudnya out of the box gitu loh. Keadaan nya aneh, misalnya kaya, kalian gak ngomong tapi saling bicara, gak ketemu tapi saling ketemu gitu. Gimana ya jelasinnya. Diluar angkasa banget kan?  Kalo dipikir-pikir ternyata kata-kata itu terlalu miskin untuk mendeskripsikan suatu keadaan. Tapi sebenarnya yang complicated itu bukan keadaan nya sih, lebih ke perasaan yang hadir dalam keadaan itu. Contohnya kaya, kamu bisa  mendeskripsikan perasaan senang, sedih, marah, tapi ada perasaan-perasaan lain yang gak ada namanya. Percaya gak? Mungkin agak sulit dimengerti ya. Contoh sederhananya itu kayak misal ada dua orang beda agama pacaran. Logikanya kan mending gak usah pacaran, atau kalo udah terlanjur putus aja. But pada praktek lapangannya ada perasaan yang ga punya nama tadi nimbrung dalam keadaan mereka sehingga ter konversi lah keadaan simple tadi jadi keadaan "rumit". Paham kan?  Tapi apa iya ad...

Selembar senyum beku

Kalo diingat-ingat lagi kita banyak singgah di tempat-tempat spesial. Terimakasih untuk orang-orang yang sudah membawa ku kesana.  Tapi sayang nya kalau dirasa-rasa kembali, kita sekarang tak bisa lebih spesial dari tempat itu. Setiap manusia punya perjalanan dan ceritanya sendiri oleh karena itu dalam sebuah sejarah ada beragam sudut pandang.  Tidak ada yang bisa memaksa kita untuk mempertahankan segala sesuatu yang fana,  dia bisa rusak kapan saja dengan sebab-sebab yang bisa saja terdengar konyol. Kita memang harus membiasakan diri. Terbiasa untuk hilang dalam kehilangan, terbiasa untuk biasa saja pada hal-hal yang melukai pikiran dan perasaan kita. Dan hal lain yang tak kalah penting, kita harus belajar mencintai alur cerita kita masing-masing.  Pada setiap pertemuan, pada setiap kebahagiaan, juga pada seluruh kesedihan di atas bumi ini memiliki ujiannya sendiri.  Tidak ada yang terlalu terluka dari yang lainnya, atau terlalu bahagia melebihi manusia lain....