Langsung ke konten utama

Tuan Sherif

 


Jauh di Utara Afrika, padang pasir membentang dari samudera Atlantik hingga ke Laut Merah. Tandus dan gersang. Seorang gadis tampak tersesat dan kehilangan arah, kalah oleh gunung-gunung pasir yang berubah arah tanpa dapat diprediksi.

Namun itu beberapa waktu yang lalu, kini tinggallah seorang sherif dengan daerah kekuasaan nya yang luas itu sendirian. Menatap dengan ingatan yang mungkin akan ia putar ber-ulang-ulang, setiap kali memandang jauh kedepan. Iya, gadis itu telah ditolong oleh seorang sherif yang terkenal di gurun sahara. Dan hari ini, setelah waktu-waktu berlalu dengan kebisuan, tepat ketika matahari menyapa seekor rajawali datang dengan sebuah surat di cengkraman cakarnya.

Tuan sherif yang terhormat, surat ini dari seorang gadis petualang yang kala itu kau dapati dalam keadaan payah lagi kebingungan.

Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya untuk anda karena telah menyuguhkan sebotol air saat saya kehausan di tengah badai gurun yang mengamuk. Terimakasih pula sudah mengizinkan singgah di tenda kemah yang kau bangun megah dengan kebaikan hatimu.

Tuan, sungguh dengan mata ini, dari sudut mana pun saya memandang. Sungguh pula yang saya dapati pada diri tuan adalah kebaikan yang tulus nyaris sempurna. Adalah tidak lagi bisa tuan temui dan dapati kabar selain surat ini pada masa sekarang bukan karena ada cela pada diri tuan, melainkan saya sudah cukup beristirahat dan harus kembali pada petualangan untuk berjalan dan menemukan apa yang saya cari selama ini. Memang belum pulih betul, tapi sudah cukup kuat untuk berjalan.

Dengan kebaikan hati yang demikian, saya harap tuan tak menyimpan dendam.

Tuan, sungguh bukan saya tak mengerti sopan santun dan tak paham cara berpamitan atau barangkali tak tahu menahu arti senang tapi diabaikan. Saya ini seorang petualang, saya paham betul apa yang tuan rasakan. Jauh sebelum tuan temukan saya dalam keadaan bertahan hidup setengah mati kala itu, banyak hal telah terjadi. Dan beberapa masih belum dapat saya selesaikan hingga saat ini.

Mungkin kapan-kapan saya akan bertandang kembali sebagai seorang kawan lama.

Memang begitu, selalu saja ada hal-hal yang tak bisa kita paksa untuk bertahan. Bersamaan dengan itu tidak pula kita memiliki hak untuk dipertahankan bukan? Misalnya seperti tamu yang ingin pulang atau barangkali melanjutkan perjalanan.

Dulu saya pun demikian, merasa kesal, marah, sedih bercampur aduk dan hanya bisa diungkapkan dengan satu ekpresi diam. Pada setiap tamu yang pamit tanpa perduli usai pesta dan meninggalkan ruangan dalam keadaan begitu berantakan di rumah saya. Padahal, adalah kesalahan saya sang tuan rumah yang mengizinkan masuk dan membuka pintu selebar-lebarnya.

Maka dari itu, saya tak berpamitan dan pergi diam-diam sebelum terlampau jauh tuan siapkan hidangan utamanya. Karena saya sedang tidak berselera untuk itu. saya tidak ingin mengecewakan orang lain sama seperti saya dikecewakan. Dan sama seperti kepergian saya, maka ada kedatangan orang lain di tenda tuan entah itu untuk menetap atau sekadar singgah. Maka temukanlah kekuatan untuk menunggu, doa saya semoga tuan sehat dan bahagia selalu

Tertanda

Sahara

Sherif  hanya tersenyum simpul dengan sedikit penyesalan entah menyesal karena apa.

“Bagaimana aku bisa lupa, kekuasaan ku selalu menyebut nama mu. Lagi pula memang tak ada yang lebih sejati dari pistol dan anak panah yang ku lepas” guman sherif pada dirinya sendiri sambil memegang ujung topi koboi nya dan berdiri tegap menghadap matahari.

 


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Flamboyan

Kembang merah di ujung kota Menunggu sapa angin utara Atau langkah kuda penarik kereta Pembawa berita dan simfoni cinta Flamboyan Kaulah yang dirindukan Sang pengembara Yang menapaki keringat tanpa huru hara Hingga puncak almamater para ksatria Jika bungamu jatuh berguguran Dalam semerbak wangi sinar pesona Kau ucapkan selamat datang Pada pengembara berpedati tua Yang tak henti berucap bahagia Karena perjalanan panjangnya tidak sia-sia Berakhir dibatas kota... Susilo Bambang Yudhoyono Semarang 24 Januari 2004