Langsung ke konten utama

Kisah yang Terperangkap

 

Di sudut kota besar keadaan tak selalu ramai, tidak pula selalu damai. Ada ratusan bahkan mungkin ribuan cerita terperangkap dalam lorong-lorong gelap, terhalang oleh tembok-tembok raksasa yang menjulang tinggi ke langit.

Dalam kehidupan makhluk yang bernama manusia, perang tak pernah berakhir. Seorang bocah linglung dengan memar di sekujur tubuhnya. Bukan, bukan tak ada yang perduli. Hanya saja, tak ada yang tau, tak ada yang melihat. Ini sudut di kota besar dalam dunia yang luas. Hanya sebagian kecil  seperti titik atau bahkan lebih kecil dari itu.

Beberapa tikus dari selokan kotor berlalu-lalang, tak perduli dan tak kenal takut pada bocah itu. iya, memang begitu seharusnya. Tikus yang lapar dan seorang anak kecil yang tak berdaya, mereka tidak memiliki kepentingan untuk saling sapa.

Berjalan beberapa langkah dari lorong gelap adalah jalan utama di kota besar, terdapat toko-toko makanan, pakaian, perhiasan berjejer rapi sebagai topeng sekaligus sebagai bukti sah melengkapi definisi sebuah kota metropolitan di negara maju.

Para pria dan wanita mengenakan kemeja, menenteng tas berisi map-map yang tidak akan pernah habis lembarannya. Badut-badut kota tersenyum lebar, menularkan bahagia pada makhluk sekelilingnya, yah meski itu bukan senyumnya.

Adalah bocah itu korban perang yang lahir karena manusia tercipta sebagai manusia. Tapi jangan kau bayangkan perang seperti yang biasa disaksikan dalam layar televisi. Tentu melawan tentara dan bom nuklir bukan alasan yang tepat nyawa masih berada dalam tubuhnya.

Bocah itu melarikan diri dari perang naluri manusia untuk bertahan hidup. Kemaren sore ia mencuri roti untuk menggajal perut, lalu tertangkap basah. Berusaha sekuat tenaga lari dari kejaran orang-orang yang marah sebab melihat ada ada cela yang tampak di tengah cela mereka yang tak tampak. Walaupun sebenarnya lebih berat bagi bocah itu untuk lari dari rasa takutnya sendiri.

Usai pengalaman digebuki orang-orang dewasa. Hari ini ia mencoba peruntungan lain dengan mengamen. Beberapa saat senang, sebab banyak simpatisan yang mengapresiasi bakat terpendamnya dengan sejumlah uang dalam nominal yang lumayan.

Malang tak dapat ditolak, untuk tak bisa diraih. Begitu kata pepatah kira-kira. Beberapa remaja malas yang sudah diracuni ganja dan kesenangan dunia, merampas hak miliknya. Sebab merasa betapa susah payah mendapat apa yang ia cari, tentu saja mempertahankan hak pribadi adalah pilihan utama. Namun sayang, kekuatan dan jumlah sangat-sangat tidak sebanding.

Ia kembali dihajar sampai babak belur, dan hari ini ia memilih menyerah saja, menyeret diri ke sudut gelap kota lalu menanti uluran kasih sayang Tuhan dan alam semesta pada nya. Lalu sampailah cerita di mana kemudian ia bertemu tikus-tikus kotor itu.

Tapi bocah itu bukan tokoh utama nya, ia tak bisa jadi tokoh utama. Sebab di setiap kota yang megah akan selalu ada sosok bocah lugu terluka dan terperangkap di sudut kota nya. Sesekali mereka muncul dan tak dikenali oleh orang-orang. Sedangkan beberapa yang beruntung berhasil di tarik keluar sehingga tumbuh dewasa bersama hangatnya cahaya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Flamboyan

Kembang merah di ujung kota Menunggu sapa angin utara Atau langkah kuda penarik kereta Pembawa berita dan simfoni cinta Flamboyan Kaulah yang dirindukan Sang pengembara Yang menapaki keringat tanpa huru hara Hingga puncak almamater para ksatria Jika bungamu jatuh berguguran Dalam semerbak wangi sinar pesona Kau ucapkan selamat datang Pada pengembara berpedati tua Yang tak henti berucap bahagia Karena perjalanan panjangnya tidak sia-sia Berakhir dibatas kota... Susilo Bambang Yudhoyono Semarang 24 Januari 2004