Langsung ke konten utama

Cerpen

Isyarat 
“sejak mentari terbenam sore itu, pagi tak pernah datang lagi”


waktu itu, senja merangkak perlahan, katanya mentari kan pulang ke peraduan. Sedang aku, masih dalam perjalanan menembus hujan, alangkah basah aroma tanah yang ku hirup kala itu.

Waktu berputar sedikit ke belakang menembus batas ingatan ku. Tak sejalan dengan pacu roda kendaraan yang menggilas jalanan terjal dan bebatuan, ia terus saja melaju kedepan. Sama halnya seperti aku saat berada di hadap senja-senja pada masa sebelumnya.

“Pulanglah, engkau telah lama pergi” ucap bias senja tanpa suara.

Namun begitulah aku enggan menoleh.

“sedikit lagi” pikirku.

Sedikit lagi sampai aku pada puncak gunung yang susah payah aku daki, mengorbankan waktu dan tenaga. Aku terlalu letih untuk berhenti barang sesaat kali ini.

“Pulanglah, mata air telah menunggumu hingga keruh” bisik senja pada gawai yang setia menyampaikan rindunya padaku.

Aku bahkan tak perduli. Hingga suara-suara matahari senja tak lagi bercerita barang sepatah katapun. Hening diantara kami kala itu, adalah kedamaian yang ku rasakan. Karena, tanya-tanya matahari senja menjadi jeda yang menjengkelkan antara aku dan perjuangan ku.

Puncak gunung kini menjadi milik ku. Namun, langit berkabar detik itu juga, perihal mentari yang katanya akan pulang ke peraduan. Tiba-tiba saja gelap menyapa dengan senyuman sinis.

“Dulu mentari itu disana dengan sejuta kesabarannya, ketika engkau belum mengerti bagaimana cara melangkah.” Katanya menunjuk langit timur.

“Ia rela mendung memeluknya agar hujan memberimu minum. Ia rela terbakar, agar tumbuhan berfotosintesis dan kau bisa makan. Kau tau? Saban hari ia berisik pada tuhan agar pendakianmu tidak terjal dan licin”.

“Dan saat ia disana” kali ini malam menunjuk ke arah barat.

“engkau lupa caranya berterima kasih, meski ia tak pernah memintanya. Matahari senja itu hanya ingin engkau duduk menikmati cahaya nya sambil bercerita perihal langkah-langkah besarmu yang katanya sempat menggetarkan semesta”.

Ingatan itu membuat tubuh ku bergetar di atas sepeda motor yang sedang ku kendarai. Sepanjang jalan yang ku lalui tak ada yang berubah, sama seperti ketika aku pergi dulu. Hanya bedanya dulu aku pergi, sekarang aku pulang. Mengantar mentari ku ke peraduan dengan sesak yang bergemuruh di dada.

Hingga sampailah aku di hadap mentari senja yang diam, diam sekali. Namun dalam diam kali ini tak ku temukan kedamaian. Akupun diam, hanya sesegukan dan lantunan mantra-mantra yang dilabuhkan para tetangga terdengar menggores setiap kepingan ingatan masa-masa kebersamaan kami,  mengantarkan mentari ku berjumpa dengan tuhan.

Kali ini, aku terduduk rapuh diatas pendakian ambisi ku sendiri, betapa banyak aku melewatkan sinar menenangkan yang redup karena dihabiskan untuk menyinari langkahku. Tempat pagi ku pulang setelah berkelana di belantara mimpi. Kali ini aku tak lagi menemukan matahari senja di langit. Ia telah turun ke bumi, di peluk tuhan dalam kasih sayang seperti ia memeluk  ku dulu. Tanah merah yang merengkuhnya, ku yakin adalah tempat paling indah, seindah jingga matahari senja itu sendiri ketika ia masih berada di langit.

Andai buaian pagi bisa terulang sekali lagi, aku ingin menemaninya hingga menjadi senja. Sebab kata semesta, kasih mentari kepada ku sepanjang masa, sedang kasihku hanya sepanjang jalan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Flamboyan

Kembang merah di ujung kota Menunggu sapa angin utara Atau langkah kuda penarik kereta Pembawa berita dan simfoni cinta Flamboyan Kaulah yang dirindukan Sang pengembara Yang menapaki keringat tanpa huru hara Hingga puncak almamater para ksatria Jika bungamu jatuh berguguran Dalam semerbak wangi sinar pesona Kau ucapkan selamat datang Pada pengembara berpedati tua Yang tak henti berucap bahagia Karena perjalanan panjangnya tidak sia-sia Berakhir dibatas kota... Susilo Bambang Yudhoyono Semarang 24 Januari 2004